Di tengah proses menuju babak penyempurnaan rekaman keduanya untuk EP yang bertajuk Kalam Prahara, kwartet Neocrust Punk asal Jombang Jawa Timur, ASTADUSTA, telah menggelar pertunjukkan kolaborasi bersama unit musik tradisional kontemporer sekotanya, yakni GAMELAN HERITAGE pada (20/8) lalu.
Pagelaran “haram” yang menggabungkan dua unsur musik yang sangat bertolak belakang ini memang baru pertama kali digagas oleh keduanya. Bagi para personil ASTADUSTA yaitu Lutfhi (gitar), Farid (gitar), Oglex (vocal) dan Donny (drum), event ini memberikan kesan tersendiri bagi mereka.
Lutfi menjelaskan pengalaman kolaborasi di panggung yang tak biasa dan berhadapan langsung dengan penonton yang cair dari segala usia dalam panggung kelompok kesenian warga Bareng Festival 2023 tersebut.
“Tercetusnya ide kolaborasi ini muncul dari kawan kawan se-tongkrongan yang kebetulan menjadi penggagas Bareng Festival 2023. Awalnya ada keraguan, mengingat Neocrust Punk dengan unsur D-Beat, Hardcore, yang kami bumbui dengan riff Black/Death Metal 90-an ini sepintas tidak ada celah untuk bisa di harmonisasi dengan Gamelan,” ujar Lutfi.
Bagi Lutfi, ini menjadi tantangan tersendiri. Karena waktu persiapan penggarapan materi kolaborasi hanya sebulan seluruhnya mengambil tiga lagu dari ASTADUSTA, mulai Deretan Angka, Senjakala Pembalasan, dan Labirin Samsara.
“Dengan satu minggu satu kali pertemuan dan modal nekat untuk eksplorasi, akhinya sampai tiba pementasan ketiga lagu tuntas diisi unsur Gamelan,” tambah Lutfi.
Sedang Farid merasa yakin bahwa terobosan ini menjadi kebaruan bermusik terutamanya di Jombang sendiri. Menurutnya salah satu unsur pendukung terkuat dari uji pertama kali di kolaborasi ini ialah konsep antara ASTADUSTA dan kawan-kawan Gamelan Heritage yang sudah matang. Sehingga, waktu latihan hanya tinggal menyesuaikan bagian ketiga lagu ASTADUSTA yang dimasukkan unsur Gamelan.
“Singkatnya, kami tidak asal terlihat serta terdengar “catchy” ataupula sekadar bahan gimmick bermusik yang tanpa dasar dan konsep. Melainkan, bagaimana eksplorasi dan eksperimen ini menjadi pengetahuan baru bagi kami sendiri. Bahwa musik memiliki dimensi yang luas,” kata Farid.
Oglex merasakan bahwa unsur Gamelan dalam lagu ASTADUSTA menambah nuansa tersendiri. Ritmis muram nan murka di lagu Deretan Angka yang berkisah tentang Pagebluk Covid 19 menjadi penuh energi.
Pada lagu Senjakala Pembalasan amarah yang hendak diluapkan bergema dengan denting saron, dan gender. Terakhir di Labirin Samsara aura gelap dari harmonisasi yang diracik oleh Lutfi dan Farid bersama instrumen gamelan dan suluknya, semakin mendekap telinga masing-masing personil.
Dan Donny menilai kolaborasi ini menjadi wacana baru mengenai ruang lingkup berkesenian di ranah musik keras. Dan, tentunya turut menimbang beberapa referensi serupa yang telah ada, sebagaimana di Rock In Solo ‘Apokaliptika’- A Journey Of Rock In Solo 2021 silam.
“Memang, ketika dorongan kolaborasi ini muncul kami juga mempelajari tata musiknya dari Rock In Solo ‘Apokaliptika’- A Journey Of Rock In Solo 2021. Kematangan konsep dan harus ditunjang oleh referensi yang memadai menjadikan piranti Gamelan, Amplifier, dan unsur lainnya tidak sekadar menjadi hiasan panggung semata. Tapi harus memberikan suguhan audio visual semaksimal mungkin,”jelas Donny
Sementara, Jordan sang produser kolaborasi sekaligus Koordinator Gamelan Heritage, mengungkapkan, dari kolaborasi yang sudah dilakukannya, memang baru pertama kali ini, kelompoknya berduet secara live dengan raungan distorsi dan pattern drum yang cepat. Kendati masih awal, dirinya berharap kerjasama semacam ini akan terus berkelanjutan dengan konsep terbarukan. (don/alm)